Minggu, 26 Oktober 2008

PROFIL NURNGUDIONO


Nurngudiono

Seni Harus Dikembalikan

Kepada Wilayahnya


Seniman harus terus berkarya. Setiap karya yang dicipta tentu tidak lepas dari proses berkarya itu sendiri. Pementasan seni di kampung-kampung, adalah upaya mengembalikan komunitas seni kepada ibunya. Karena wilayah seni itu bermuasal dari desa. Situasi dan kondisinya menjadi sumur yang senantiasa memancarkan oase ide. Dari sana banyak sekali inspirasi yang lahir dan bermuara dari kondisi masyarakat sekitaranya. “Kehidupan masyarakat dengan dinamika permasalahannya, kehidupan orang-orang tertindas dan didhalimi oleh sesamanya, merupakan sumber inspirasi bagi saya,” kata Pendiri Kampoeng Seni Desa Bedug, Nurngudiono, Minggu (26/10) di rumahnya Jalan Sawo 41 RT 12/III Desa Bedug, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal.


SEJAK tahun 1996, guru SD yang mahir nembang, Nurngudino selain suka bermusik, juga menulis lirik dan membuat lagu hingga berhasil rekaman. Album pertamanya ‘Kembang Geni’ (bersama Lanang Setiawan). Disusul dengan album kedua ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’. Kemudian membuat lagu ‘Tegal Keminclong Moncer Kotane’. Lagu tersebut dijadikan ikon kota Tegal.
Lagu ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’ tercipta setelah mencermati perkembangan kehidupan masyarakat dan jaman yang semakin jungkir balik, sebagaimana pernah diramal pujangga Ronggowarsito ratusan tahun silam. Lagu itu menggambarkan fenomena jaman watu itu. Kehidupan sosial masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan tata adat kehidupan bernilai positif. Kehidupan masyarakat yang melanggar adat kebiasaan alias jaman edan itu tersirat dalam syairnya:

Babon ngoyok-oyok jago
jamane jaman edan
akeh babon ngoyok-oyok jago
sing bener dadi salah
sing salah dadi bener
jamane jaman edan

Janji pancen gampang
ngomong pancen gampang
sing penting ana buktine
sing penting ana nyatane
suradadi kotane
sing penting nyatane…….

Selain pernah mendirikan Kelompok Musik Ngiongsoran pada tahun 1987, ayah dari empat anak ini juga mendirikan KMSWT (Kelompok Musik Sastra Warung Tegal) pada tahun 1996. Hingga sekarang masih rutin tampil tidak hanya dalam ajang apresiasi seni ansich, tetapi juga ditanggap dalam acara-acara seremonial.
Sehingga kehidupan KMSWT itu sendiri pernah difilmkan menjadi sebuah film dokumenter. Tujuannya untuk dijadikan referensi budaya sebagai pengayaan khasanah kajian proses berkesenian yang ada di tengah masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Sedangkan syair lagu-lagu yang ditulis seniman yang pernah menjadi pengurus hingga menjdi Ketua DKT Kota Tegal ini, telah dialihbahasa ke dalam syair berbahasa Inggris oleh pengamat kebudayaan dari Australia, Richard Curtis. Lagu-lagu tersebut dibawa ke negeri kanguru, dan dijadikan bahan kajian seni di sebuah universitas di Australia.
Hal yang paling membuat seniman yang kini tinggal di Desa Bedug merasa trenyuh sekaligus bangga, lantaran lagu ‘Dolanan Rakyat’ yang iramanya enak dinikmati, syairnya penuh satire meski tidak teramat vulgar itu, ternyata disukai kaum demonstran. Termasuk para mahasiswa, pada era reformasi lagu itu menjadi yel-yel favorit dan dikumandangkan di tengah-tengah orasi politik di berbagai kota.

Dolanan rakyat
rakyate nggo dolanan
aja kaya kuwe
aja dolanan rakyat….

Sebagai seniman harus terus berkarya. Setiap karya yang dicipta tentu tidak lepas dari proses berkarya itu sendiri. Menurut suami dari seniwati Sunarti, dia merasa bersyukur dengan lingkungan dimana dia tinggal. Karena situasi dan kondisinya menjadi sumur yang senantiasa memancarkan oase ide. Diakuinya, sebagian inspirasi dari sejumlah karyanya justru bermuara dari kondisi masyarakat sekitaranya.
“Kehidupan masyarakat dengan dinamika permasalahannya, kehidupan orang-orang tertindas dan didhalimi oleh sesamanya merupakan sumber inspirasi bagi saya,” kata suami Sunarti yang dikaruniai empat putra, Karel Kurniawan (25), Dilan Prihananda (22), Brian Arif Maulana (20) dan Dean Rahajeng Sastriani (alm).
Selain itu, cetusnya, kondisi alam juga sering merangsang dirinya dalam setiap pergulatan cipta karya. Terutama berkaitan dengan syair lagu yang ditulisnya. Sebagai seniman seringkali tidak lepas dari tantangan yang sedemikian rupa bentuk dan macamnya. Seperti penentangan dan ketidaksetujuan yang datang dari orang di sekitaranya bahkan orang-orang yang dicintainya. Apakah dia itu kedua orang tua, mertua, istri, anak-anak ataupun keluarga dekat. Bagi Nurngudiono, justru sebaliknya.
“Saya bersyukur, baik orang tua, istri dan anak-anak sangat mendukung kesenimanan saya. Bahkan saya sering pentas bersama istri,” tandas pemilik prinsip hidup ‘Jangan pernah menyerah’ yang juga Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal periode 2006-2007.
Pencermatannya terhadap denyut kehidupan berkesenian di wilayah Brebes, Kota Tegal serta Kabupaten Tegal, hingga sekarang terus bergerak semakin bagus. Terutama para generasi muda dengan berbagai kegiatan keseniannya. Karena itu perlu adanya penanganan serius. Ia menilai, dalam perhelatan seni di Tegal, masih ada kelemahan yang cukup berdampak terhadap perkembangan kesenian. Sedangkan kelemahan itu justru datang dari para seniman itu sendiri.
“Kelemahan dalam kehidupan seni di Tegal itu dalam soal penanganan managerial,” kata Nurngudiono.
Menurutnya, ada tiga komponen dasar yang sangat mendukung eksistensi berkesenian. Pertama adanya peran serta pemerintah. Kedua, managemen yang bagus. Ketiga kreativitas para senimannya. Jika ketiga aspek itu dipadu akan semakin meningkatkan perkembangan kesenian.
Bagi Nurngudiono, seniman dalam mencurahkan kreativitasnya tidak boleh terpaku oleh hal-hal yang bersifat teknis. Seperti seni teater, seni musik ataupun lukis. Dimaksudkan, pentas teater, pentas musik itu bisa dimana saja. Tidak harus di gedung yang megah. Di panggung menterang dalam sebuah acara yang bersifat seremonial. Sekalipun itu penting, tetapi jangan dijadikan moment satu-satunya, meski berekppresi dan menuangkan kreativitas.
Pentas drama. Bemain musik bisa saja digelar di halaman rumah. Di pelataran kampung di antara rumpun bambu meski alat penerangnya mengandalkan cahaya bulan purnama ataupun sederet obor bambu. Sedangkan para penontonnya bukan pejabat tinggi serta para pengusaha. Melainkan para tetangga di sekitaranya. Dengan cara seperti itu, justru ekpresi dalam berkesenian semakin cermat. Karena audiennya orang-orang yang polos. Ketika lucu ya tertawa. Ketika tidak paham ya melongo. Bahkan ikut bergoyang tanpa rikuh saat ada sajian lagu yang menyentilnya untuk bergoyang. Alasan itu, sehingga diprakarsai sebuah pementasan seni di kampung. Dan tercetuslah adanya Kampeong Seni Desa Bedug.
“Dengan pementasan seni di kampung-kampung, saya ingin mengembalikan komunitas seni kepada ibunya. Karena wilayah seni itu bermuasal dari desa. Dalam pandangan saya, ketika seni yang tumbuh dan berkembang di kota-kota besar telah terinveksi virus politik, kepentingan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan lain di luar ranah kesenian, maka seni harus dikembalikan kepada wilayah ibunya, yakni desa. Biarlah seni kembali kepada asal muasal seni. Di desa seni akan lebih berdaya guna, di desa, seni akan lebih akrab dengan penikmatnya. Wilayah pedesaan menjanjikan nuansa berkesenian yang lebih bening,” papar Nurngudiono yang menjabat Koordinator Jaringan Kerja Seniman Tiga Kota.
Pementasan kesenian di desa, sedikitnya memberikan dampak positif seperti apresiasi murni dari masyarakat sehingga kesan yang dirasakan lebih awet. Kedua bermanfaat untuk menghibur masyarakat dengan sajian yang mendidik dan bermoral. Ketiga dapat langsung dinimati masyarakat. Karena itu, mantan Ketua DKT ini beranggapan, panggung desa itu lebih besar dari gedung kesenian bahkan panggung seni manapun (Hamidin Krazan)

Tidak ada komentar: